Nha…sebelum
ngomong lebih jauh, gak ada salahnya tau tentang pengertian durhaka. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI berdasarkan ejaan yang disempurnakan
(halah.. J
), durhaka berarti melanggar perintah, kewajiban, dan atau ketentuan yang sah.
Dalam artian setiap tindakan pelanggaran atas perintah atau kewajiban dapat
disebut sebagai bentuk kedurhakaan. Ada hamba yang durhaka
pada Tuhannya, ada umat yang durhaka pada pemimpinnya, dan yang paling sering
disebut adalah anak yang durhaka kepada orang tuanya. Tapi jarang kita mendengar ada orang tua yang
durhaka pada anaknya (barangkali malah gak pernah dengar). Meski demikian,
bukan mustahil ada orang tua yang durhaka kepada anaknya, sebagaimana juga ada
pemimpin yang durhaka pada umatnya.
Beberapa hal
yang tanpa sadar bisa menyebabkan orang tua durhaka kepada anaknya di antaranya
justru dilakukan oleh kebanyakan orang ketika menjadi “calon orang tua”.
Sebagian besar orang saat awal memilih pasangan hidup hanya mengikuti nafsu
belaka tanpa memikirkan perjalanan ke depan. Mereka tidak berfikir bahwa
pasangan yang dipilih adalah penentu generasi yang akan mereka turunkan.
Pilihan yang dilakukan tidak berlandaskan pada kriteria agama, sehingga
pernikahan yang terjadi tidak memiliki visi misi yang sama, dan anak yang
terlahir pun tidak diberikan didikan yang benar bahkan nir-religius alias
miskin nilai-nilai keagamaan. Yang muncul kemudian adalah anak-anak yang tidak
berakhlak (berbudi luhur) dan cenderung “liar”. Saat itu baru terasa oleh orang
tua bahwa anak yang telah mereka besarkan kemudian melawan dan durhaka terhadap
mereka. Yang mereka tuntut adalah anak-anak yang berbakti dan penurut namun
yang didapat adalah anak-anak yang suka membantah, melawan, dan tidak mengenal
etika sopan santun. Mereka tidak menyadari
bahwa kesalahan awal yang cukup fatal adalah ketika memilih pasangan hidup
yang tidak memiliki “kualitas unggul”. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa
kekhalifahan Umar bin Khatab ra., ketika seorang ayah mengadukan permasalahan
anaknya yang dianggapnya telah sangat
mendurhakainya kepada beliau. Kemudian Umar r.a mendatangkan anak tersebut untuk ditanya mengenai
kedurhakaan dan kelalaiannya terhadap hak-hak orang tuanya. Anak itu menjawab
dengan suatu pertanyaan: “Wahai Amirul Mu’minin, bukankah anak juga mempunyai
hak-hak yang harus dipenuhi oleh bapaknya?”. “Tentu”, jawab Umar r.a. “ Apakah
itu ya Amirul Mu’minin?”, tanya anak itu selanjutnya. Umar r.a pun menjawab “
memilihkan untuknya ibu yang sholihah, memberinya nama yang baik, dan
mengajarinya al-Qur’an.” Lalu anak itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin,
sesungguhnya bapakku belum pernah melakukan salah satupun di antara semua itu.
Adapun ibuku adalah orang yang tidak mengenal Islam, aku diberinya nama Ju’al
(kumbang kelapa), dan belum pernah diajarinya aku satu huruf pun dari
al-Qur’an”. Umar r.a lantas menoleh kepada lelaki itu dan berkata: “Engkau
telah dating kepadaku untuk mengadukan bahwa anakmu telah berbuat durhaka
kepadamu, padahal sesungguhnya engkau telah mendurhakainya sebelum ia
mendurhakaimu!”
Jadi, awal
mula pembentukan anak yang sholeh/sholehah itu dimulai sebelum pernikahan,
yaitu pada saat memilih pasangan hidup. Pemilihan calon pasangan hidup yang
baik dapat diibaratkan dengan trik bercocok tanam. Istri yang baik dan subur
bagaikan ladang yang subur dan belum pernah diolah sehingga kandungan unsur
haranya masih tinggi. Sedangkan suami yang baik dapat diibaratkan bibit unggul
dari varietas terbaik. Kedua hal ini menjadi modal dasar untuk memulai bercocok
tanam. Sedangkan pendidikan yang diberikan adalah perawatan tanaman hingga
memberikan hasil terbaik pada masa panen.
Hal lain yang
perlu diperhatikan adalah pemberian nama anak. Orang tua mempunyai kewajiban
untuk memberikan nama yang baik kepada anaknya karena nama seorang anak pada
dasarnya adalah doa dan harapan orang tua terhadap anaknya. Adapun anak mempunyai
hak untuk memperoleh nama yang baik dari orang tuanya. Abul Hasan meriwayatkan
bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Ya Rasulullah,
apakah hak anakku dariku?” Nabi menjawab: “Engkau
baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang
baik.”
Sabda Nabi
SAW yang lain: “Baguskanlah namamu,
karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti.” (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Nama anak
sangat penting karena dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan
agama. Pemberian nama dapat berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Secara
tak sadar, seseorang akan terdorong untuk memenuhi image/citra/gambaran yang
terkandung dalam namanya. Bahkan Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menjauhi
nama yang dapat mengotori kehormatannya.
Berikutnya
yang sangat penting adalah pemberian pendidikan terbaik kepada anak. Pemberian
pendidikan seorang anak dapat dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan.
Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa seorang ibu hamil yang sering
memperdengarkan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, lagu-lagu klasik, atau
mengajak berbincang-bincang janinnya dapat merangsang perkembangan otak janin
secara optimal serta dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian
anak. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah ataupun berupa
konsep-konsep nilai, melainkan juga keteladanan yang diberikan orang tua dalam
kehidupan sehari-hari.
Ketiga poin
di atas hanyalah sebagian kecil kesalahan-kesalahan yang tanpa sadar sering
dilakukan orang tua terhadap anaknya. Kesalahan tersebut hanya dianggap sebagai
masalah sepele. Hal ini terjadi – barangkali—karena adanya satu dogma yang
meyakini bahwa anak adalah hak mutlak orang tua sehingga orang tua berhak
melakukan apapun terhadap anaknya. Mereka lupa bahwa anak adalah salah satu
“barang titipan” Allah yang tentu saja harus dirawat dengan sebaik-baiknya
sehingga apabila suatu saat Sang Pemilik hendak mengambilnya, Ia akan merasa
senang karena barang miliknya dalam kondisi yang baik lalu Ia akan memberi
“bonus” sebagai ganti biaya perawatan.
Kendati
demikian, bukan berarti pula seorang anak dapat berbuat sesuka hati. Walaupun
seandainya orang tua kita melakukan kesalahan, wajib hukumnya bagi setiap anak
untuk tetap menghormati dan berlaku santun kepada mereka. Jangan pernah
sekalipun mengeluarkan perkataan yang dapat menyinggung hati orang tua terlebih
sampai melakukan kekerasan. Bukankah orang tua telah banyak melakukan
pengorbanan untuk anak-anaknya? Lelah dan payah yang teramat sangat mereka
tahan karena rasa cinta kepada buah hatinya. Allah SWT telah mengabadikan
“momen” pengorbanan mereka dalam al-Quranul Karim QS.
Al Ahqaaf ayat 15: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik
kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai
empat puluh tahun ia berdo’a : “Ya Tuhanku, tujukilah aku untuk mensyukuri nikmat
Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku
dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku
dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungnguhnya aku bertaubat
kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Begitu
besarnya penghormatan dan pemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada orang tua
sehingga Allah tidak rela jika ada seorang anak yang berani menyakiti hati
orang tuanya. Allah mengajarkan dan menuntut agar setiap anak senantiasa
berlaku santun terhadap orang tuanya tanpa terkecuali. Perintah Allah di dalam
QS. Al Israa' ayat 23: Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia.
Hal ini diperkuat lagi oleh Hadis Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh Muslim: Amal yang paling utama (afdhal) adalah mengerjakan shalat pada (awal) waktunya, dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
Maka,
siapapun kita, sebagai anak ataupun orang tua, hendaknya selalu ingat bahwa
istri, anak, dan harta hanyalah ujian. QS. At-Taghaabun, 14-18: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu
dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu
terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni
(mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Bersabarlah atas beratnya ujian! Karena kesabaran dalam menghadapi ujian dapat
menjadi penyebab keridzoan Allah SWT. Semoga Allah menjadikan kita golongan
orang-orang yang senantiasa mendapat rahmat dan petunjuk-Nya. Amin……….Hal ini diperkuat lagi oleh Hadis Nabi Muhammad SAW diriwayatkan oleh Muslim: Amal yang paling utama (afdhal) adalah mengerjakan shalat pada (awal) waktunya, dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
5komentar:
Beben Koben si Bloglang anu ganteng kalem tea \m/
Posting Komentar
Silahkan meninggalkan pesan yang santun dan tidak menyinggung SARA.
Dilarang Spam!!