ORANG TUA DURHAKA??

Rabu, 01 Juni 2011
Sering kita dengar istilah anak durhaka. Tapi pernahkah kita mendengar tentang orang tua durhaka? Hmmm…. Kira-kira ada gak ya orang tua yang durhaka?
Nha…sebelum ngomong lebih jauh, gak ada salahnya tau tentang pengertian durhaka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia alias KBBI berdasarkan ejaan yang disempurnakan (halah.. J ), durhaka berarti melanggar perintah, kewajiban, dan atau ketentuan yang sah. Dalam artian setiap tindakan pelanggaran atas perintah atau kewajiban dapat disebut  sebagai bentuk kedurhakaan. Ada hamba yang durhaka pada Tuhannya, ada umat yang durhaka pada pemimpinnya, dan yang paling sering disebut adalah anak yang durhaka kepada orang tuanya.  Tapi jarang kita mendengar ada orang tua yang durhaka pada anaknya (barangkali malah gak pernah dengar). Meski demikian, bukan mustahil ada orang tua yang durhaka kepada anaknya, sebagaimana juga ada pemimpin yang durhaka pada umatnya.
Beberapa hal yang tanpa sadar bisa menyebabkan orang tua durhaka kepada anaknya di antaranya justru dilakukan oleh kebanyakan orang ketika menjadi “calon orang tua”. Sebagian besar orang saat awal memilih pasangan hidup hanya mengikuti nafsu belaka tanpa memikirkan perjalanan ke depan. Mereka tidak berfikir bahwa pasangan yang dipilih adalah penentu generasi yang akan mereka turunkan. Pilihan yang dilakukan tidak berlandaskan pada kriteria agama, sehingga pernikahan yang terjadi tidak memiliki visi misi yang sama, dan anak yang terlahir pun tidak diberikan didikan yang benar bahkan nir-religius alias miskin nilai-nilai keagamaan. Yang muncul kemudian adalah anak-anak yang tidak berakhlak (berbudi luhur) dan cenderung “liar”. Saat itu baru terasa oleh orang tua bahwa anak yang telah mereka besarkan kemudian melawan dan durhaka terhadap mereka. Yang mereka tuntut adalah anak-anak yang berbakti dan penurut namun yang didapat adalah anak-anak yang suka membantah, melawan, dan tidak mengenal etika sopan santun. Mereka tidak menyadari  bahwa kesalahan awal yang cukup fatal adalah ketika memilih pasangan hidup yang tidak memiliki “kualitas unggul”. Hal seperti ini pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab ra., ketika seorang ayah mengadukan permasalahan anaknya yang dianggapnya telah  sangat mendurhakainya kepada beliau. Kemudian Umar r.a mendatangkan  anak tersebut untuk ditanya mengenai kedurhakaan dan kelalaiannya terhadap hak-hak orang tuanya. Anak itu menjawab dengan suatu pertanyaan: “Wahai Amirul Mu’minin, bukankah anak juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh bapaknya?”. “Tentu”, jawab Umar r.a. “ Apakah itu ya Amirul Mu’minin?”, tanya anak itu selanjutnya. Umar r.a pun menjawab “ memilihkan untuknya ibu yang sholihah, memberinya nama yang baik, dan mengajarinya al-Qur’an.” Lalu anak itu berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya bapakku belum pernah melakukan salah satupun di antara semua itu. Adapun ibuku adalah orang yang tidak mengenal Islam, aku diberinya nama Ju’al (kumbang kelapa), dan belum pernah diajarinya aku satu huruf pun dari al-Qur’an”. Umar r.a lantas menoleh kepada lelaki itu dan berkata: “Engkau telah dating kepadaku untuk mengadukan bahwa anakmu telah berbuat durhaka kepadamu, padahal sesungguhnya engkau telah mendurhakainya sebelum ia mendurhakaimu!”
Jadi, awal mula pembentukan anak yang sholeh/sholehah itu dimulai sebelum pernikahan, yaitu pada saat memilih pasangan hidup. Pemilihan calon pasangan hidup yang baik dapat diibaratkan dengan trik bercocok tanam. Istri yang baik dan subur bagaikan ladang yang subur dan belum pernah diolah sehingga kandungan unsur haranya masih tinggi. Sedangkan suami yang baik dapat diibaratkan bibit unggul dari varietas terbaik. Kedua hal ini menjadi modal dasar untuk memulai bercocok tanam. Sedangkan pendidikan yang diberikan adalah perawatan tanaman hingga memberikan hasil terbaik pada masa panen.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemberian nama anak. Orang tua mempunyai kewajiban untuk memberikan nama yang baik kepada anaknya karena nama seorang anak pada dasarnya adalah doa dan harapan orang tua terhadap anaknya. Adapun anak mempunyai hak untuk memperoleh nama yang baik dari orang tuanya. Abul Hasan meriwayatkan bahwa suatu hari seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Ya Rasulullah, apakah hak anakku dariku?” Nabi menjawab: “Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan ia di tempat yang baik.”
Sabda Nabi SAW yang lain: “Baguskanlah namamu, karena dengan nama itu kamu akan dipanggil pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban).
Nama anak sangat penting karena dapat menunjukkan identitas keluarga, bangsa, bahkan agama. Pemberian nama dapat berpengaruh terhadap konsep diri seseorang. Secara tak sadar, seseorang akan terdorong untuk memenuhi image/citra/gambaran yang terkandung dalam namanya. Bahkan Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk menjauhi nama yang dapat mengotori kehormatannya.
Berikutnya yang sangat penting adalah pemberian pendidikan terbaik kepada anak. Pemberian pendidikan seorang anak dapat dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan. Ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa seorang ibu hamil yang sering memperdengarkan bacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, lagu-lagu klasik, atau mengajak berbincang-bincang janinnya dapat merangsang perkembangan otak janin secara optimal serta dapat mempengaruhi perkembangan mental dan kepribadian anak. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah ataupun berupa konsep-konsep nilai, melainkan juga keteladanan yang diberikan orang tua dalam kehidupan sehari-hari.
Ketiga poin di atas hanyalah sebagian kecil kesalahan-kesalahan yang tanpa sadar sering dilakukan orang tua terhadap anaknya. Kesalahan tersebut hanya dianggap sebagai masalah sepele. Hal ini terjadi – barangkali—karena adanya satu dogma yang meyakini bahwa anak adalah hak mutlak orang tua sehingga orang tua berhak melakukan apapun terhadap anaknya. Mereka lupa bahwa anak adalah salah satu “barang titipan” Allah yang tentu saja harus dirawat dengan sebaik-baiknya sehingga apabila suatu saat Sang Pemilik hendak mengambilnya, Ia akan merasa senang karena barang miliknya dalam kondisi yang baik lalu Ia akan memberi “bonus” sebagai ganti biaya perawatan.
Kendati demikian, bukan berarti pula seorang anak dapat berbuat sesuka hati. Walaupun seandainya orang tua kita melakukan kesalahan, wajib hukumnya bagi setiap anak untuk tetap menghormati dan berlaku santun kepada mereka. Jangan pernah sekalipun mengeluarkan perkataan yang dapat menyinggung hati orang tua terlebih sampai melakukan kekerasan. Bukankah orang tua telah banyak melakukan pengorbanan untuk anak-anaknya? Lelah dan payah yang teramat sangat mereka tahan karena rasa cinta kepada buah hatinya. Allah SWT telah mengabadikan “momen” pengorbanan mereka dalam al-Quranul Karim QS. Al Ahqaaf ayat 15: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandung dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a : “Ya Tuhanku, tujukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungnguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.
Begitu besarnya penghormatan dan pemuliaan yang diberikan Allah SWT kepada orang tua sehingga Allah tidak rela jika ada seorang anak yang berani menyakiti hati orang tuanya. Allah mengajarkan dan menuntut agar setiap anak senantiasa berlaku santun terhadap orang tuanya tanpa terkecuali. Perintah Allah di dalam QS. Al Israa' ayat 23: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
Hal ini diperkuat lagi oleh Hadis Nabi Muhammad SAW di­riwayatkan oleh Muslim: Amal yang paling utama (afdhal) adalah mengerjakan shalat pada (awal) waktunya, dan berbuat baik kepada kedua orang tua.
Maka, siapapun kita, sebagai anak ataupun orang tua, hendaknya selalu ingat bahwa istri, anak, dan harta hanyalah ujian. QS. At-Taghaabun, 14-18: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Bersabarlah atas beratnya ujian! Karena kesabaran dalam menghadapi ujian dapat menjadi penyebab keridzoan Allah SWT. Semoga Allah menjadikan kita golongan orang-orang yang senantiasa mendapat rahmat dan petunjuk-Nya. Amin……….

5komentar:

Posting Komentar

Silahkan meninggalkan pesan yang santun dan tidak menyinggung SARA.
Dilarang Spam!!